Pages

Kamis, 26 Februari 2015

Moment Mengawali Perjuangan
Menuju Kesuksesan




me with mas tri


sebelum atun ujian


eksisss abiss..ciiss


mas tri selesai ujian


selesai ujian teruss makaaannn mie ayam..yummyy


atun, mas tri and me

Kamis, 20 Maret 2014

ABOUT CAHYA






SELAMAT DATANG DI BLOG CAHYA . . . ^_^


CAHYA MASIH SAYANG
BANGEEETTT
SAMA ELI MAHMUD

MAGANGER's




Moment disaat mba' shinta (MUA PRO TV) ULTAH


Jalan-Jalan with my friend ^_^ 


Pas lagi mampir di jalan


Melayaaang....ye ye ye ye

Jumat, 30 November 2012

kamu yang pernah singgah dalam hatiku dan gk akan pernah hilang


semoga jumper ini selalu kamu pake yaaaa???


om mahmud lagi sama ade' haidar (keponakannya)



ade' "haidar alqi" lagi ulang tahun


nee waktu lagi maen d hutan wisata penggaron, deket rumah sahabat q...
 

nee waktu kita lagi d air terjun semirang
kenangan yang gk akan pernah lupa...

Senin, 26 Desember 2011

studi kebijakan dakwah

  1. PENDAHULUAN
Zakat bukan sesuatu yang baru dalam pandangan orang-orang Islam. Orang-orang Islam sangat mempercayai dan meyakini bahwa zakat merupakan salah satu dari salah satu pilar agama Islam. Kebanyakan orang Islam pun berkeyakinan bahwa zakat mempunyai peran penting dalam pemberdayaan ekonomi umat. Namun demikian fakta di dunia emperik menunjukkan hal yang berlawanan. Negara-negara dimana mayoritas penduduknya beragama Islam masih tergolong Negara sedang berkembang dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Satu contoh yang pantas untuk dikemukakan adalah Negara Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Hampir 90 % dari total jumlah penduduk Negara Indonesia beragama Islam. Angka kemiskinan di Indonesia terbilang cukup tinggi. Data dari BPS memmjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 40 juta jiwa. Sementara data dari bank dunia menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin sebesar 60 % atau 135 juta jiwa. Terlepas dari perbedaan data yang ditunjukan BPS dan bank dunia tersebut, yang jelas persoalan kemiskinan masih menjadi persoalan yang amat krusial di Indonesia. Dan pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang sangat serius dalam soal mengatasi kemiskinan ini. Alokasi dana yang diperuntukkan bagi upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan tersebut sangat besar.
Pada sisi lain, potensi zakat menunjukkan angka yang sangat pantastis. Hasil penghitungan kasar yang dibuat oleh Eri Sudewo pada tahun 2006 lalu menunjukkan bahwa potensi zakat di Indonesia ini bisa mencapai angka 10,8 triliyun rupiah pertahunnya. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa potensi zakat yang besar tersebut belum dapat tergali secara maksimal sehingga tidak mengherankan jika angka kemiskinan di Indonesia masih cukup besar.1
Pada dasarnya zakat telah diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia 1999, Nomor: 164), tentang Pengelolaan Zakat. Salah satu pertimbangan yang diketengahkan dalam peraturan perundang-undangan ini bahwa pengelolaan zakat ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum yang merupakan tujuan nasional negara Republik Indonesia.2
  1. RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimana Keadaan masyarakat Indonesia sebelum Undang-undang zakat dibuat?
  2. Mengapa Undang-undang zakat harus dibuat?
  3. Bagaimana respon masyarakat Indonesia mengenai ditetapkan Undang-undang pengelolaan zakat?
  4. Bagaimana Kontroversi undang-undang pengelolaan zakat setelah masyarakat meresponnya?
  1. PEMBAHASAN
  1. Kondisi masyarakat Indonesia sebelum adanya UU zakat
Kemiskinan merupakan sebuah kondisi hidup yang serba kekurangan. Kemiskinan merupakan salah satu penyebab munculnya permasalahan ekonomi karena lemahnya sumber penghasilan. Pakar ekonomi melihat kemiskinan dari berbagai aspek. Pada aspek primer kemiskinan terlihat dari miskin asset, organisasi sosial politik, pendidikan, dan keterampilan. Pada aspek sekunder kemiskinan terlihat pada kemiskinan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi.3
Kemiskinan terjadi tidak serta merta disebabkan oleh faktor- faktor yang bersifat ekonomi. Kemiskinan terjadi juga disebabkan oleh faktor budaya, sosial, dan politik. Penyebab utama kemiskinan adalah karena kelemahan dari segi modal. Kelemahan modal
disebabkan karena ketidakmampuan untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam. Ketidakmampuan untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam berdampak pada rendahnya produktifiktas. Rendahnya produktifiktas berakibat pada rendahnya pendapatan. Pendapatan yang rendah berakibat pada rendahnya tabungan dan insentif. Rendahnya tabungan dan insentif berakibat pula pada rendahnya pembentukan modal. Lingkaran kemiskinan demikian menyisahkan variable lain yaitu variable sosial, budaya, dan politik. Ketidakmampuan untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam berakar pada rendahnya tingkat pendidikan. Kemudian rendahnya produktifitas berakar pada lemahnya etos kerja. Kelemahan etos kerja disebabkan oleh adanya sebuah keyakinan bahwa kemiskinan merupakan takdir Tuhan. Variabel politik terlihat pada keberpihakan yang lebih dari pemerintah terhadap pemilik modal ketimbang kepada kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian kemiskinan tidak berdiri sendiri, banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya kemiskinan. Analisis terhadap faktor-faktor penyebab kemiskinan akan menghasilkan sebuah langkah-langkah yang tepat dalam mengatasi kemiskinan tersebut.4
  1. Alasan adanya Undang-undang Nomor 38 tahun 1999
Zakat merupakan ibadah maliyah ijtima’iyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi doktrin Islam maupun dari sisi pembangunan umat. 5
Pada tahun 1960 an kita akan mendapati bahwa pada awalnya penyaluran zakat umat Islam Indonesia dilakukan secara tradisional, yaitu dengan menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahik atau melalui kyai, ajengan, masjid atau pesantren. Kemudian lahir gagasan untuk membuat Rancangan Undang-undang Zakat. Kementerian Agama waktu itu, sudah menyusun RUU Pelaksanaan Zakat, tapi belum sempat dibahas di DPR. Baru pada tahun l967 RUU tersebut diajukan ke DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Hasilnya nihil. Soalnya, sebagian elit politik saat itu masih mengindap 'penyakit akut' Islam phobia(Takut berlebihan pada Islam). Pada tahun 1968, melalui SKB Menteri Agama dan Mendagri yang mengatur pengelolaan zakat di Indonesia, dan berdasarkan SK Gubernur DKI untuk pertama kalinya didirikan BAZIS DKI yang kemudian diikuti oleh pendirian BAZIS di berbagai propinsi lainnya. Pengelolaan zakat memasuki babak baru : Mulai terorganisasi, dan menjadi perhatian langsung dari Pemerintah. Juga berdiri BAMUIS BNI pada tahun yang sama. RUU Pengelolaan Zakat yang telah diajukan sejak tahun 1967 itu tak putus asa. Khususnya di Jawa Timur, pada tahun l978, beberapa ulama dari berbagai ormas Islam mendesak Pemda membuat Peraturan Daerah tentang zakat. Bahkan konsep Perda itu sempat dibawa ke Amir Machmud, Mendagri waktu itu, untuk diusulkan menjadi undang-undang. Tanggapan Amir Machmud, "Apa-apan ini, mau mengembalikan Jakarta Charter. Seakan tak menanggapi tanggapan Amir Machmud.
Pada tahun 1987 berdiri Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) sebagai lembaga amil zakat (LAZ) yang didirikan oleh masyarakat yang kemudian mendapatkan kepercayaan yang sangat tinggi dari masyarakat. RUU Pengelolaan Zakat dicoba lagi tahun l993. Kali ini langsung kepada Presiden Soeharto, lewat Ketua MDI KH Thohir Wijaya. "Zakat kan sama dengan shalat, masa shalat juga mau diundangkan" kata (Alm) Soeharto. Meski mendapat penolakan, tetap tak menahan laju berdirinya Lembaga Amil Zakat yang dibentuk Masyarakat. Pada tahun 1993, berdirilah Dompet Dhuafa Republika yang memperbaharui tatanan kehidupan berzakat di Indonesia.
Kepercayaan luar biasa dari masyarakat kepada Lembaga Amil Zakat inilah yang 'memaksa' lahirnya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang di dalamnya menyebutkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat. Seakan mendapat angin segar, keberhasilan beberapa LAZ ini mendorong tumbuhnya lembaga pengelola zakat yang dibentuk masyarakat. Di topang dengan Undang-undang no.38 tahun 1999 tersebut, Pengelola Zakat tumbuh bagai jamur dimusim hujan. Tidak hanya Lembaga Amil Zakat yang dikukuhkan atau pemerintah yang mengelola Zakat ternyata Masjid-mushola, forum-forum guru, majelis ta'lim, perkumpulan wali murid taman kanak-kanak juga ada yang mengumpulkan zakat. Potensi zakat ternyata sangat besar. Buktinya, sampai Lembaga-lembaga apa saja 'dipakai' untuk mengumpulkan dana zakat (meski lembaga itu tak bergerak di bidang perzakatan, apalagi mendapat akreditasi). Tak terkecuali Pemerintah yang akhirnya melirik zakat sebagai salah satu sumber dana yang potensial.6
  1. Aplikasi Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 Tentang pengelolaan Zakat
Zakat merupakan salah satu alternatif lembaga pendanaan bagi kemaslahatan umat yang perlu diberdayakan secara optimal untuk memperbaiki ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, setiap muslim yang memiliki harta dan memenuhi persyaratan tertentu diwajibkan mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada yang berhak menerima dengan persyaratan yang ditentukan menurut ajaran Islam. Berkenaan dengan itu, kesejahteraan merupakan salah satu cita-cita Bangsa Indonesia yang begitu luhur, sehingga kalimat tersebut dituangkan dalam salah satu isi pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.
Permasalahan zakat yang diteliti, mengenai landasan hukum pengelolaan zakat, mekanisme yang dilaksanakan oleh badan atau lembaga pengelola zakat, serta kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan zakat.
Pada dasarnya zakat telah diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia 1999, Nomor: 164), tentang Pengelolaan Zakat. Salah satu pertimbangan yang diketengahkan dalam peraturan perundang-undangan ini bahwa pengelolaan zakat ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum yang merupakan tujuan nasional negara Republik Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan Nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik, materi dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatkan peran-serta masyarakat dalam pembangunan Nasional.
7
Kian jelas, bahwa pengelolaan zakat dimaksudkan untuk menggali potensi sumberdaya pembangunan yang berasal dari muslim yang memiliki kemampuan finansial untuk dikelola dalam meningkatkan jalannya pembangunan di daerah. Pengelolaan zakat sangatlah erat dengan penerimaan daerah dari sektor pajak penghasilan. Pengelolaan kedua sumberdaya ini secara lebih luas, diberikan amanat kepada Pemerintah oleh Undang-Undang Dasar Negara dengan tujuan untuk menjaga kesejahteraan rakyat dalam berbagai aspek kehidupan.Secara sederhana, kebijakan pajak (fiskal) adalah kebijakan yang mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran negara.
Zakat mempunyai kedudukan utama dalam kebijakan fiskal pada masa awal Islam. Di samping itu sebagai sumber pendapatan negara Islam yang utama pada waktu itu, zakat juga mampu menunjang pengeluaran negara baik dalam bentuk goverment expenditure maupun goverment transfer . Zakat juga mampu mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah Islam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama kaum lemah.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat telah melahirkan paradigma baru pengelolaan zakat di Indonesia pada umumnya karena Undang-Undang tersebut mengamanatkan bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat yaitu Lembaga atau Badan yang dibentuk oleh Pemerintah dan dikelola oleh masyarakat. Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk membentuk lembaga pengelola zakat diharapkan berperan aktif dalam merespon tercapainya penyelenggaraan pengelolaan zakat sesuai harapan Undang-Undang dan harapan masyarakat. Badan Amil Zakat (BAZ) dibentuk untuk mengelola zakat, infak dan sedekah untuk dikelola dengan sebaik-baiknya sesuai harapan umat demi meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih baik sehingga keterbelakangan umat dari segi ekonomi dapat dibangun dan terjadi perubahan yang signifikan. Kedua lembaga zakat ini lahir sebagai desakan kebijakan Nasional yang berawal sekitar pertengahan tahun 1990-an, dengan munculnya lembaga amil zakat yang mempunyai semangat untuk memperbaiki jalur pengumpulan dan distribusi zakat. Sejalan dengan itu, seperti telah diungkapkan, bahwa pemerintah-pun mengeluarkan perangkat perundang-undangan berupa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999. Lembaga-lembaga zakat pun semakin banyak bermunculan . Namun demikian potensi zakat yang sebenarnya belum dapat digali secara maksimal, karena zakat masih dianggap sebagai sumbangan sukarela (voluntary donations) dan negara tidak dapat memaksa para wajib zakat (muzakki) untuk membayarkannya kepada penerima zakat (mustahiq).
Dengan demikian dapat diasumsikan, bahwa dengan mengembalikan zakat kepada kebijakan fiskal, potensi zakat yang sebenarnya akan dapat lebih diberdayakan secara maksimal.8


  1. Kontroversi Undang-undang Nomor 38 tahun 1999
Undang-undang Pengelolaan Zakat yang disahkan DPR menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat, khususnya di kalangan praktisi zakat. Salah satu yang paling mendapat sorotan adalah pasal 18 dan 19 yang isinya tentang syarat pendirian Lembaga Amil Zakat dan kewajiban melaporkan kondisi lembaga kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Beberapa kalangan bahkan berani menuding adanya pasal-pasal tersebut upaya pemerintah untuk mengecilkan lembaga zakat yang sudah eksis di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, UU Zakat yang baru dituding menghambat kedermawanan masyarakat.9
Lalu muncul keinginan kuat dari sebagian kalangan untuk melakukan revisi atas UU tersebut. Beberapa landasan yang mendasari keinginan merevisi UU itu diantaranya adalah : Penerapan sanksi atas muzakki yang ingkar membayar zakat, Pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak dan Melakukan sentralisasi pengelolaan zakat oleh BAZ yang memiliki cabang dari pusat sampai tingkat kelurahan/desa.
Dari tiga hal yang mendasari revisi UU No. 38/1999 itu, masalah sentralisasi zakat adalah yang paling banyak menimbulkan pro dan kontra, terutama di kalangan LAZ. Hal ini dapat dimaklumi, karena dalam gagasan sentralisasi zakat ini terkandung muatan untuk mengintegrasikan LAZ ke dalam BAZ dan mengubah LAZ menjadi UPZ (unit Pengumpul Zakat).10
Selain itu, Undang-udang itu produk politik. Karena itu, sangat bergantung pada situasi politik dimana UU tersebut disahkan. UU No. 38 Tahun 1999 itu disahkan pada era Presiden Habibie. Saat itu, belum terpikir sempurna atau tidak. Nah, kini sudah berjalan sekitar 10 tahun, banyak sekali kelemahan yang sangat mendasar. Di antaranya, tidak ada sanksi.
Kelemahannya yang lain UU kalau mau diimplementasikan perlu dibuatkan peraturan oleh pemerintah. Sebab, peraturan pemerintah mengatur rinci tentang sanksi. Nah, kalau peraturan tidak ada sanksi, sama saja keberadaanya, tidak dibutuhkan. Selama ini, UU zakat dibawah Menteri Agama (Menag). Dan itu sangat tidak menguntungkan, karena zakat hanya dianggap sebagai urusan Menag. Padahal, zakat terkait dengan pajak dan Departemen Keuangan serta pihak lainnya. Dengan adanya sanksi, peraturan itu akan mengikat ke semua departemen lain. Yang sekarang tidak mengikat. Departemen Keuangan merasa tidak perlu mengikuti keputusan Menag.
Apalagi yang ingin direvisi dalam UU tersebut? Selain alasan sanksi, juga disebabkan karena masalah kelembagaan zakat. Sebab, selama ini hubungan antara satu dengan yang lain tidak diatur dalam UU. Padahal itu penting sekali. Selama ini, hubunganya hanya bersifat koordinasi, tidak sampai hubungan struktural sehingga mempunyai kekuatan untuk membina ke daerah. Kalau sekarang hanya mencakup informatif, koordinatif dan konsultatif.
Selanjutnya, yang menjadi alasan karena hubungan pajak dengan zakat. Seharusnya, keduanya disandingkan dengan baik. Karena hubungan keduanya relatif sama. Bahkan, zakat lebih fokus kepada fakir miskin. Sedangkan pajak tidak semuanya demikian. Karena itu, perlu diperhatikan. Zakat dapat mengurangi pajak. Kalau disebutkan secara eksplisit bahwa zakat bisa mengurangi pajak, itu akan mendorong orang berzakat. Maka, banyak muzakki (pembayar zakat) yang akan tertarik membayar zakat. Tiga hal inilah yang mendorong UU No. 38 perlu direvisi.
Kembali kepada sanksi, selain UU No. 38/1999, dalam al-Qur`an ada nash yang mewajibkan zakat. Apakah itu tidak cukup untuk menekan muzakki? Betul. Di zaman Khalifah Abu Bakar Siddiq hal tersebut sudah terjadi. Kalau dalam al-Qur`an kewajiban membayar zakat sudah jelas. Tapi, itu tidak menjadi jaminan orang berzakat. Shalat saja jarang yang mau melakukannya, apalagi zakat, yang diharuskan mengeluarkan harta. Orang pasti berpikir, untuk apa harus mengeluarkan zakat, toh ini harta-harta saya. Zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) zakat sangat ditekankan, apalagi di era Abu Bakar, jauh lebih keras lagi. “Wallahi lauqatilanna man farraqa shalat wazzakat.” (Demi Allah sungguh saya akan perangi orang yang meninggalkan shalat dan zakat). Zaman sahabat saja ada yang membangkang, apalagi sekarang.
Fungsi revisi UU ini adalah untuk mempositifkan UU yang bersifat normatif (al-Qur`an dan Sunnah). Bagaimana yang normatif itu bisa kita positifkan. Kita jadikan UU bisa diberlakukan dengan baik. Apakah hal itu tidak membingungkan masyarakat nantinya?Tidak. Justru akan menguntungkan masyarakat. Setidaknya, bisa ikut mengatasi kemiskinan. Jangan lupa pada masa Umar Bin Abdul Aziz, sudah diterapkan kewajiban zakat bagi para pegawai. Ternyata, hal tersebut mampu mensejahterakan masyarakat semuanya. Hanya dalam tempo dua bulan, sudah tidak ada mustahik (orang yang menerima zakat). Nah, kita sebagai lembaga zakat (LAZ) berupaya untuk mewujudkan itu. Kita sudah mempunyai sekolah gratis, rumah sakit gratis. Ajaran Islam itu memudahkan, tidak memberatkan.
Seandainya revisi UU itu gol, kira-kira apa sanksi yang akan diberikan? Masih sedang dipikirkan bersama. Lebih cenderung menggunakan sanksi sosial. Muzakki harus punya Nomor Peserta Wajib Zakat (NPWZ). Jadi, kalau mengurus hal yang berkaitan pelayanan publik, SIM dan lain sebagainya, jika tidak memiliki NPWZ, tidak boleh diberi. Kita harapkan dengan sanksi itu bisa memacu muzakki.
Bagaimana dengan usulan bahwa zakat dapat mengurangi pajak? Di SPPT sekarang sudah ada kolom zakat. Tinggal mengefektifkan saja. Jadi, jika ada yang membayar zakat di lembaga zakat yang sudah terakreditasi, nanti mendapat bukti setor zakat (BSZ). Dari BSZ itulah nanti dihitung dengan pajak. Dengan revisi, nanti setiap lembaga harus memberikan laporan melalui satu pintu. BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) lainnya silakan bergerak. Tapi, semuanya harus memberikan laporan.
Kalau begitu, kelak para muzakki tidak boleh mengeluarkan zakat sembarangan kecuali melalui LAZ yang sudah terakreditasi, begitu? Ya. Kalau kepada LAZ yang belum diakui atau sembaragan, tidak akan mendapat perhitungan pajak. Contohnya ke tetangga, masjid dan lainnya. Hal itu sebenarnya sudah dicontohkan Rasulullah SAW. Bahwa membayar zakat harus ke lembaga zakat bukan perorangan.
Beberapa pihak mulai resah dengan usulan revisi UU Zakat ini, bagaimana?
Sudah klise. Kasus seperti ini sudah terjadi sejak 1945. Sebenarnya, mereka yang menolak sangat tidak paham. Cobalah dialog dengan kami. Atau para tokoh lainnya. Mereka tidak tahu, jika Islam justru membawa rahmat bagi mereka juga.
11

  1. PENUTUP
  1. Simpulan
Dari berbagai ulasan di atas, ada beberapa rekomendasi yang perlu dipaparkan disini terkait dengan usulan pemerintah dan lembaga amil zakat seputar revisi UU zakat tahun 1999. Pemerintah tidak perlu memasukkan sanksi muzakki dalam revisi UU zakat, sebab usul itu tidak didukung oleh norma-norma dalam hukum Islam. Di sisi lain, usul itu terlalu mencampuri sisi ibadah zakat sebagai kewajiban individu terhadap Tuhannya. Walaupun muzakki tidak mau untuk menunaikan zakatnya kewajiban itu di mata Tuhan tetap ada, dan tidak hilang karena ketidakmauan muzakki, pemerintah tidak perlu atas nama Tuhan kemudian memberikan sanksi kepada muzakki. Sanksi pada muzakki akan melahirkan arogansi atas nama Tuhan ketimbang pencapaian tujuan optimalisasi pengumpulan zakat untuk kesejahteraan umat Islam.
Pemerintah perlu memikir ulang ide sentralisasi pengelolaan zakat, terutama dari sisi format sentralisasi, wewenang dan peran dari masing-masing dalam sentralisasi itu, jika upaya itu tidak dilakukan sebaiknya persoalan zakat diserahkan kembali kepada masyarakat, agar masyarakat mengelola sendiri kewajiban agamanya, keterlibatan pemerintah dalam konteks ini menjadi regulator dan pengawas terhadap pengeloloan zakat, bahkan jika diperlukan pemerintah dapat memberikan ide pembentukan komisi khusus pengawasan pengelolaan dana zakat.
Selanjutnya jika nanti usulan zakat sebagai pengurang pajak masuk UU versi revisi, perlu dipikir bagaimana mekanismenya. Sebab, tanpa mempertimbangkan mekanismenya usulan ini hanya bagus pada tataran konsep tapi tidak mampu diaplikasikan secara memadai di tataran praksisnya. Apalagi kini obyek zaka telah begitu berkembang, tidak hanya harta pribadi, tapi juga telah merambah pada harta korporasi yang dimiliki oleh seorang muslim.
  1. Penutup
Demikianlah makalah yang kami susun, semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan kepada para pembaca. Apabila terdapat kesalahan dan kekurangan kami minta maaf karena disini kami masih tahap belajar. Kritik dan saran sangat diperlukan guna perbaikan tugas kami selanjutnya. Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid VI, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1996.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Pemberdayaan Kaum Dhuafa,Jakarta: Departemen Agama RI, 2008.
Didin Hafidhuddin, “Optimalisasi Pendayagunaan Zakat”, Hamid Abidin (Ed.), Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS: Menuju Efektifitas Pemanfataan Zakat, Infak, Sedekah (Jakarta:
PIRAMEDIA, 2004)
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:xSeEHVBZL9EJ:i-epistemology.net/attachments/1137_in-v7n1 %2520Pembaharuan%2520Zakat%2520untuk%2520Pengentasan%2520Kemiskinan%2520di%2520Indonesia%2520%2520A.A.%2520Miftaf.pdf+sejarah+penyebab+adanya+uu+zakat&hl=id&gl=id
http://vintage-whoami.blogspot.com/2010/11/kondisi-masyarakat-indonesia.html
Majalah MISSI edisi 33 mei 2011, hal 16
http://alquranevolusi.blogspot.com/2010/07/pengolaan-zakat-dan-permasalahannya.html
http://adhiazfar.blogspot.com/2010/03/ruu-zakat-dan-lika-liku-sejarah.html

1 A.A. Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), 11.74.



2 http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:xSeEHVBZL9EJ:i-epistemology.net/attachments/1137_in-v7n1 %2520Pembaharuan%2520Zakat%2520untuk%2520Pengentasan%2520Kemiskinan%2520di%2520Indonesia%2520%2520A.A.%2520Miftaf.pdf+sejarah+penyebab+adanya+uu+zakat&hl=id&gl=id

3 http://vintage-whoami.blogspot.com/2010/11/kondisi-masyarakat-indonesia.html

4 Ibid.

5 Majalah MISSI edisi 33 mei 2011, hal 16

6 http://adhiazfar.blogspot.com/2010/03/ruu-zakat-dan-lika-liku-sejarah.html

7 http://alquranevolusi.blogspot.com/2010/07/pengolaan-zakat-dan-permasalahannya.html.Selasa .Pukul 14.00WIB


8 Ibid

9 http://adhiazfar.blogspot.com/2010/03/ruu-zakat-dan-lika-liku-sejarah.html


10 Ibid

11 SUARA HIDAYaTULLAH APRIL 2009 http://majalah.hidayatullah.com/?p=292, senin pukul 14.00 WIB